Wapres Gibran Mau Kemenyan Jadi Parfum, Terus Dukun Mau Kerja Apa?

Kemenyan dengan berbagai manfaatnya. (©Getty Images)

Petta – Kemenyan, yang dulu lekat dengan kakek-nenek kita dan ritual-ritual tengah malam di kampung, kini dibidik jadi bahan parfum mahal. Bukan oleh sembarang orang tapi oleh Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka.

Dalam kunjungannya ke Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Gibran menyebut hilirisasi kemenyan punya masa depan secerah nikel. “Bahan-bahan seperti kemenyan ini digunakan oleh merek-merek besar, seperti Louis Vuitton dan Gucci,” katanya. Menurutnya, sudah waktunya Indonesia tidak hanya mengekspor getah kemenyan dalam bentuk mentah, tapi juga mengolahnya jadi produk siap jual: parfum, skincare, bahkan essential oil.

Pernyataan ini bisa jadi kabar baik buat petani kemenyan. Tapi buat para dukun, ini bisa jadi awal kiamat profesi.

Dari Benda Mistis ke Komoditi Mewah

Selama ini, kemenyan di mata masyarakat awam (dan media horor) sering dikaitkan dengan praktik supranatural. Dibakar saat ritual malam Jumat, pemanggilan arwah, atau pengusiran makhluk tak kasatmata. Ada stereotip: kalau mencium bau kemenyan, artinya ada yang tak beres.

Padahal, secara ilmiah, kemenyan—atau benzoin resin dari pohon Styrax benzoin—punya nilai ekonomi tinggi. Dipakai sebagai fixative dalam parfum mahal, juga dalam industri farmasi dan kosmetik. Globalnya, pasar benzoin bisa menyentuh angka miliaran dolar. Masalahnya, kalau seluruh masyarakat sadar akan potensi ekonominya, lalu rame-rame ekspor dan produksi parfum lokal berbasis kemenyan, apa yang tersisa untuk para dukun?

Dukun di Persimpangan Nasib

Dalam dunia yang makin skeptis dan rasional, profesi dukun memang sudah lama dalam tekanan. Tapi kemenyan adalah salah satu “senjata” terakhir yang membuat mereka tetap punya panggung. Kalau kemenyan ikut pindah haluan jadi komoditas modern, bisa-bisa anak cucu nanti tak lagi kenal istilah “dukun kemenyan”.

Bayangkan: dalam lima tahun ke depan, kemenyan tak lagi dijual di pasar tradisional dalam bentuk bongkahan getah berasap, tapi dalam botol mewah berlabel “Spiritual Oud by Gibran x LV”. Dukun hanya bisa mengakses kemenyan dengan harga yang tiga kali lipat dari sebelumnya dan itu pun versi cair yang sudah diencerkan dengan alkohol.

Apakah ini artinya praktik mistik akan benar-benar tinggal legenda?

Ketika Mistis Bertemu Kapitalis

Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Banyak hal yang dulunya mistis, akhirnya dikapitalisasi. Yoga, meditasi, bahkan dupa Bali, kini masuk etalase produk lifestyle dan wellness. Kemenyan hanya giliran berikutnya.

Pertanyaannya sekarang: apakah kita siap melepaskan sisi mistik kemenyan sepenuhnya demi lembaran dolar? Atau justru, para dukun akan beradaptasi: membuka jasa “spiritual branding”, memadukan aura dengan aromaterapi, dan menjual “parfum penglaris” via TikTok Shop?

Akhirnya…

Gibran mungkin hanya bicara soal hilirisasi dan potensi ekonomi. Tapi efek domino dari pernyataannya bisa lebih besar. Saat komoditas sakral dijadikan kapital, kita tak cuma bicara soal ekonomi, tapi juga soal perubahan identitas budaya. Kemenyan sedang berevolusi. Dukun mungkin juga harus.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts