Padel Adalah ‘The Next Big Thing’ atau Cuma Olahraga Anak Jaksel yang Kena Fomo?

Olahraga padel kini menjadi olahraga yang digemari banyak anak muda. (©Sergio Contreras Arcos)

Petta – Kalau kamu hidup di kota besar, terutama Jakarta dan Bali, rasanya mustahil untuk tidak melihatnya. Entah itu di media sosial, di kompleks perumahan, atau bahkan di atap mal: lapangan-lapangan padel yang serba estetik dengan dinding kacanya. Di sana, para pemain yang mengenakan outfit serasi lengkap dengan raket yang harganya setara motor tertawa dan berswafoto di sela-sela reli. Padel bukan lagi sekadar olahraga baru. Padel adalah pemandangan yang tak bisa dihindari, sebuah fenomena yang, untuk banyak orang, terasa seperti tren fomo (Fear of Missing Out) paling mutakhir.

Pertanyaannya, apakah padel hanyalah tren sesaat yang akan pudar seperti slow-pitch atau sepeda lipat saat pandemi? Atau ada sesuatu yang membuatnya lebih substansial dan bertahan lama?

Tiba-tiba Semua Orang Main Padel

Padel, sebuah persilangan antara tenis dan squash, sejatinya sudah ada sejak 1969. Tapi di Indonesia, gerbang masuknya terbilang baru, dimulai sekitar tahun 2021. Awalnya, olahraga ini diperkenalkan oleh kalangan ekspatriat di Jakarta dan Bali, ditandai dengan pembangunan lapangan pertama di awal 2020-an. Namun, ledakan popularitas yang sesungguhnya terjadi pada awal 2025.

Data dari salah satu klub di Jakarta, House of Padel (HOP), menunjukkan lonjakan drastis dalam jumlah pemain baru dari Januari hingga April 2025. Okupansi lapangan mereka bahkan pernah menyentuh 98,3 persen di hari biasa. Angka ini adalah bukti nyata bahwa padel telah bertransisi dari sekadar hobi menjadi sebuah industri yang serius dan menjanjikan.

Di antara Gaya Hidup dan Gaya-gayaan

Tidak bisa dimungkiri, daya tarik padel sangat erat kaitannya dengan social proof. Tak terhitung lagi berapa banyak figur publik dan influencer yang mempromosikan padel melalui unggahan mereka, seolah itu adalah bagian tak terpisahkan dari gaya hidup modern. Sebut saja nama-nama seperti Vincent Rompies, Mahalini, Rizky Febian, Fujianti Utami, hingga Aurel Hermansyah dan “Geng Mamayu” yang seringkali tampil dengan seragam atau outfit senada.

Di media sosial, padel terlihat seperti aktivitas yang estetik, seru, dan tentu saja, stylish. Desain lapangan yang cerah dan raketnya yang unik membuat olahraga ini sangat Instagrammable. Ini adalah strategi pemasaran yang efektif: transformasi sebuah aktivitas fisik menjadi sebuah pernyataan sosial.

Tapi, benarkah semua ini cuma soal fomo? Sejumlah pemain mengakui bahwa rasa ingin mencoba padel awalnya memang dipicu oleh kekhawatiran ketinggalan tren. Hal ini mirip dengan tren-tren gaya hidup lain yang kerap meledak di perkotaan. Namun, ada argumen yang lebih kuat. Menurut para pemain, yang membuat mereka bertahan adalah elemen sosial yang melekat pada olahraga ini.

“Fomo mungkin yang bawa orang untuk datang, tapi elemen sosial yang bikin mereka tinggal,” ujar seorang pemain. Dengan format ganda yang mengharuskan empat pemain di satu lapangan, padel secara alami mendorong interaksi dan kerja sama. Ini adalah olahraga yang menggabungkan kebugaran, hiburan, dan sosialisasi dalam satu paket. Bagi masyarakat urban yang sibuk, padel menawarkan ruang untuk berkeringat sekaligus membangun pertemanan dan relasi. Ini bukan lagi tentang olahraga, tapi tentang komunitas.

Bisnis Lapangan dan Pengakuan Resmi

Di balik sorotan para selebriti dan para pemain, padel adalah sebuah bisnis besar. Biaya untuk membangun satu lapangan outdoor tidak main-main, bisa mencapai Rp500 juta hingga Rp800 juta. Namun, potensi keuntungannya juga menggiurkan, dengan tarif sewa per jam yang bisa mencapai Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. Hal ini menjadikan padel sebagai peluang investasi yang menjanjikan, terutama bagi segmen pasar kelas menengah ke atas yang menjadi target utama.

Seiring dengan gelombang popularitas, padel pun mulai terinstitusionalisasi. Perkumpulan Besar Padel Indonesia (PBPI) kini menjadi badan resmi yang mengatur olahraga ini. Sejak 2024, PBPI sudah menjadi anggota Federasi Internasional Padel (FIP). Dengan visi menjadikan Indonesia sebagai pusat padel terkemuka di Asia, PBPI telah mulai menyelenggarakan sirkuit nasional dan mengharuskan pemain memiliki lisensi untuk mengikuti turnamen resmi. Tak hanya itu, padel juga telah masuk sebagai cabang olahraga eksibisi di Pekan Olahraga Nasional (PON) 2024.

Transisi padel dari tren gaya hidup menjadi ekosistem olahraga yang terstruktur tidak luput dari perhatian pemerintah. Buktinya, Pemerintah Provinsi Jakarta kini menetapkan pajak sebesar 10% untuk fasilitas olahraga padel, mengkategorikannya sebagai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) Hiburan dan Kesenian. Kebijakan ini, yang mungkin terlihat memberatkan, justru menjadi sinyal bahwa padel telah melewati fase niche dan kini dianggap sebagai sektor bisnis yang signifikan.

Jadi, apakah padel cuma fomo? Mungkin iya, di awal-awal. Namun, ia tumbuh lebih dari sekadar tren, membangun fondasi yang kokoh, dan berpotensi menjadi bagian integral dari gaya hidup masyarakat Indonesia di masa mendatang. Tampaknya, padel memang bukan cuma untuk gaya-gayaan. Ia adalah olahraga yang berhasil membuktikan dirinya, satu per satu.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts