
Petta – Pemerintah terus mendorong percepatan sertifikasi halal bagi seluruh produk yang beredar di Indonesia. Program ini mencakup berbagai kategori produk, mulai dari makanan, minuman, hasil sembelihan, hingga bahan baku, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Namun, hingga pertengahan 2025, realisasi sertifikasi halal masih jauh dari target. Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Haikal Hassan, mengungkapkan bahwa dari total 66 juta pelaku usaha di Indonesia, baru sekitar 2 juta yang telah memiliki sertifikasi halal.
“Makanan itu kurang lebih 14 persen, jadi target kita yang 14 persen kita selesaikan dulu sampai 2026. Setelah itu baru kosmetik, obat, dan sebagainya. Nah, 14 juta ini harus kita kejar sampai 2029 ya,” ujar Haikal Hassan, dikutip dari Antara, Minggu (15/6/2025).
Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati, menjelaskan bahwa ada sejumlah faktor yang membuat proses sertifikasi halal belum optimal, salah satunya kurangnya sosialisasi kepada pelaku usaha, khususnya sektor UMKM. Menurutnya, peran aktif konsumen juga diperlukan untuk mendorong para pelaku usaha segera mengurus sertifikasi halal.
Namun demikian, ketidakpastian penerapan sanksi atas ketentuan wajib halal turut mempengaruhi semangat para pelaku usaha. Hal ini terlihat saat pemerintah memperpanjang masa relaksasi pada Oktober 2024 lalu, yang membuat sebagian besar pengusaha memilih untuk menunggu kejelasan kebijakan.
“Jadi yang tadinya semangat, kemudian akhirnya wait and see, kita tunggu aja dulu deh, nanti apakah memang betul-betul akan diterapkan dengan tegas atau bagaimana. Jadi itu bagian yang memang menjadi challenging juga,” ujar Muti saat di acara kumparan Halal Forum di Jakarta.
Lebih lanjut, Muti menyoroti bahwa persoalan bahan baku menjadi salah satu tantangan utama dalam proses sertifikasi halal, terutama untuk usaha mikro. Ia mencontohkan, dalam sertifikasi produk makanan seperti lemper, tim audit harus menelusuri asal-usul daging ayam yang digunakan. Jika bahan tersebut belum tersertifikasi, maka proses verifikasi berlanjut hingga ke tingkat toko penjual hingga rumah potong ayam (RPA).
“Kami harus menelusuri terus ke sana. Itunya akhirnya kemudian muncul cerita bahwa sertifikasi untuk UMK sulit, rumit, panjang. Kalau kita runut lagi, ternyata masalahnya adalah di bahan-bahan yang kritis ini,” beber Muti.
Selain lemper, tantangan serupa juga dihadapi pada produk bakso, di mana proses penggilingan daging menjadi titik kritis audit. Oleh sebab itu, dalam beberapa tahun terakhir, LPPOM MUI mulai mendorong pendekatan sertifikasi halal dari hulu, dengan memprioritaskan rumah potong hewan sebagai bagian penting dalam rantai pasok halal.
“Ke depannya akan lebih baik lagi kalau memang kita bisa menarik permasalahan bahan-bahan apa saja sih yang secara masif digunakan oleh banyak perusahaan, banyak produk yang sifatnya kritis. Misalkan bahan-bahan yang berbasis hewan tadi, rumah potong ayam, rumah potong hewan itu menjadi prioritas,” tambah Muti.
Muti menegaskan, semakin panjang proses audit, maka biaya sertifikasi pun ikut meningkat. Oleh karena itu, kolaborasi seluruh pihak sangat dibutuhkan untuk memperluas ketersediaan bahan baku bersertifikat halal, sehingga sertifikasi produk di hilir dapat berjalan lebih cepat dan terjangkau.
“Karena tadi lemper, tapi karena kita harus melakukan proses pemeriksaan juga ke tukang potongnya, ke tokonya. Akhirnya menjadi panjang dan ujung-ujungnya akhirnya keluhannya menjadi lebih mahal karena harus meng-cover juga tahapan-tahapan tersebut,” tutupnya.