Fenomena ‘Quiet Quitting’ di Kalangan Milenial: Respon Budaya Kerja Modern

Ilustrasi: Seorang freelancer menerapkan pola kerja quiet quitting. (©Freepik/tirachardz)

Petta – Dalam dunia kerja yang semakin kompetitif, fenomena ‘quiet quitting’ menjadi perhatian serius di kalangan milenial. Istilah ini merujuk pada praktik pekerja yang memilih menjalankan tugas sesuai deskripsi pekerjaan tanpa melebihi ekspektasi, menghindari kerja lembur atau beban kerja tambahan yang tidak dibayar. Tren ini merefleksikan bentuk perlawanan terhadap budaya kerja yang cenderung menuntut produktivitas tanpa batas.

Menurut survei terbaru Gallup, hanya 32 persen pekerja di seluruh dunia merasa benar-benar terlibat dengan pekerjaannya pada tahun 2023. Angka ini menurun dari 36 persen pada tahun 2020, mencerminkan meningkatnya jarak emosional antara pekerja dan organisasi tempat mereka bekerja. Survei ini juga menunjukkan bahwa generasi milenial lebih cenderung mempertimbangkan keseimbangan kehidupan kerja sebagai prioritas utama dibandingkan kenaikan gaji atau jenjang karier.

Di Indonesia, narasi serupa mulai mendapatkan momentum, terutama setelah pandemi COVID-19. Sejumlah pekerja muda mengungkapkan bahwa mereka merasa lebih menghargai waktu bersama keluarga dan kegiatan pribadi. “Saya bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja,” ujar Andini (28), seorang pekerja di sektor digital marketing di Jakarta.

Namun, pandangan ini menimbulkan perdebatan. Para pengamat melihat fenomena ini sebagai sinyal bagi perusahaan untuk mengevaluasi ulang budaya kerja mereka. “Ini bukan tentang malas atau tidak bertanggung jawab. ‘Quiet quitting’ adalah cara para pekerja menetapkan batasan,” kata Dr. Indra Santoso, pakar psikologi organisasi dari Universitas Indonesia.

Perusahaan yang sukses, lanjut Dr. Indra, adalah yang mampu menciptakan lingkungan kerja yang menghargai kesejahteraan karyawan, seperti fleksibilitas jam kerja atau peluang pengembangan diri. “Jika tidak segera direspons, organisasi akan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan talenta terbaik mereka,” tambahnya.

Sebagai bagian dari solusi, beberapa perusahaan di Indonesia telah mulai mengadopsi pendekatan baru. Misalnya, menerapkan kebijakan kerja hybrid, waktu kerja fleksibel, hingga program kesehatan mental. “Hasilnya cukup positif. Produktivitas justru meningkat karena karyawan merasa lebih dihargai,” kata Diah Sari, HR Manager di sebuah startup teknologi.

Tren ‘quiet quitting’ tidak hanya sekadar fenomena, melainkan refleksi dari perubahan nilai di dunia kerja modern. Pekerja tidak lagi hanya mencari penghasilan, tetapi juga keseimbangan dan makna dalam pekerjaan mereka. Bagi organisasi yang ingin tetap relevan, mendengar dan merespons kebutuhan karyawan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts