
Petta – Makassar kerap dielu-elukan sebagai “Kota Makanan Enak”. Tapi, seberapa layak kota di Sulawesi Selatan ini menyandang gelar itu? Apakah ini murni fakta atau sekadar narasi yang dipoles untuk menarik wisatawan? Untuk mencari jawabannya, kami memutuskan turun langsung ke jalanan kota ini untuk mencicipi, mengobservasi, dan mengkritisi.
Masalah Selera atau Benar-benar Enak?
Kita tahu, makanan adalah soal selera. Apa yang bagi sebagian orang terasa memikat, bagi yang lain mungkin hanya biasa saja. Salah satu contohnya adalah Coto Makassar. Banyak orang mengagungkan hidangan ini sebagai mahakarya kuliner lokal, tapi, jujur saja, sup berbahan dasar daging sapi dengan bumbu rempah-rempah ini tidak terlalu berbeda dengan soto di banyak kota lain di Indonesia.
Lalu ada Konro, iga sapi yang dimasak dengan rempah-rempah. Enak? Tentu saja. Unik? Hmm… Kalau Anda pernah mencicipi rawon khas Jawa Timur atau rendang Padang, rasanya Konro bisa terasa seperti variasi lain dari hidangan serupa.
Apakah ini berarti kuliner Makassar overrated? Mungkin. Tapi tunggu dulu, ada lebih banyak hal yang perlu digali.

Street Food: Menyelamatkan Nama Baik Makassar
Jika restoran besar tidak terlalu memikat, street food di Makassar mungkin adalah alasan terbesar kota ini layak mendapat gelar “Kota Makanan Enak”. Pisang Epe, misalnya, adalah kudapan sederhana berbahan pisang bakar yang disiram saus gula merah. Rasanya manis, legit, dan membawa kehangatan nostalgia yang sulit ditandingi.
Lalu ada Es Pisang Ijo. Pisang yang dibalut adonan tepung hijau dan disajikan dengan sirup merah cerah. Sederhana, tetapi inilah jenis makanan yang membuktikan bahwa Makassar tidak butuh bahan mewah untuk menciptakan rasa yang sempurna.
Kata Mereka..
“Jujur, saya sudah keliling ke banyak tempat di Indonesia. Dari soto Betawi di Jakarta hingga gudeg di Jogja, semuanya punya keunikan. Tapi Makassar? Makassar itu beda. Rasanya seperti pulang ke masa lalu setiap kali makan Coto Makassar atau Pallubasa,” ujar Dina Magdalena, seorang abdi negara yang telah melakukan perjalanan dinas hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Ia menambahkan, “Yang bikin spesial itu bukan cuma rasanya, tapi juga suasananya. Makan Pisang Epe di Pantai Losari sambil lihat sunset, itu pengalaman yang tidak bisa kamu dapatkan di tempat lain.”
Testimoni serupa datang dari Aji Suleman, seorang jurnalis kuliner yang berbasis di Purwokerto. “Saya skeptis awalnya. Tapi begitu coba Konro di Makassar, saya langsung mengerti kenapa orang-orang begitu memuja kuliner di sini. Rasanya kaya, tapi tetap terasa ‘homy’. Itu yang membuat Makassar layak jadi Kota Makanan Enak,” katanya.
Makassar dan Warisan Rasa Lokal
Kekuatan Makassar sebenarnya ada pada kemampuannya merangkul rasa lokal yang kuat, meski mungkin tidak selalu terasa revolusioner. Dalam perjalanan saya, satu hal yang menonjol adalah bagaimana kota ini menghormati tradisi. Dari Pasar Senggol hingga Pantai Losari, Anda bisa melihat bahwa makanan di sini bukan hanya soal rasa, tapi juga identitas.
Apakah Makassar benar-benar “Kota Makanan Enak”? Jika Anda membandingkannya dengan kota-kota besar lain di Indonesia seperti Bandung atau Yogyakarta, mungkin gelarnya terasa sedikit berlebihan. Tetapi, setelah Anda menyelami lebih dalam dan memahami filosofi di balik hidangan-hidangan khasnya, Anda akan menyadari bahwa gelar ini bukan hanya soal rasa semata.
Jadi, ya, Makassar pantas disebut “Kota Makanan Enak”. Bukan karena semua hidangannya sempurna, tetapi karena kota ini menghidangkan sesuatu yang lebih dari sekadar makanan: sebuah cerita tentang akar budaya yang terus hidup melalui piring-piringnya. Dan bukankah itu inti sebenarnya dari makan?