
Petta – Dalam sebuah langkah yang mengejutkan, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung memutuskan untuk menarik ijazah 233 alumninya dari periode 2018–2023. Keputusan ini muncul setelah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) menemukan ketidaksesuaian dalam data akademik kampus.
Pelanggaran yang terungkap mencakup perbedaan jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) antara catatan kampus dan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI). Tidak hanya itu, ijazah yang dikeluarkan Stikom juga tidak mencantumkan Penomoran Ijazah Nasional (PIN) dan gagal melalui uji plagiasi, dua hal yang seharusnya menjadi standar prosedur.
Ketua Stikom Bandung, Dedy Djamaluddin Malik, mengatakan bahwa alumni tidak perlu mengulang seluruh perkuliahan dari awal. “Mereka hanya diwajibkan mengambil mata kuliah tertentu untuk memenuhi kekurangan SKS,” jelasnya. Namun, narasi ini tidak cukup untuk meredam kemarahan mahasiswa yang merasa dikhianati.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Stikom, Kakang Kariman, menyerukan perubahan mendesak dalam sistem akademik kampus. Ia menekankan pentingnya transparansi dan pengawasan yang lebih ketat terhadap administrasi untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Bagi Kakang, kampus juga harus memberikan kepastian hukum kepada mahasiswa dan alumni agar mereka merasa dilindungi oleh institusi yang seharusnya menjadi penjaga masa depan mereka.
“Tolong selesaikan masalah ini secepat mungkin. Jangan sampai berlarut-larut karena masa depan banyak orang dipertaruhkan,” ujar Kakang dengan nada tegas. Ia menambahkan bahwa langkah cepat dan solusi yang adil bukan hanya penting untuk mahasiswa, tetapi juga untuk menjaga nama baik kampus di mata publik. “Jangan biarkan nama baik kampus terus tercoreng. Fokuslah pada solusi yang adil bagi semua pihak,” pungkasnya, menggarisbawahi bahwa kepercayaan terhadap institusi ini berada di ujung tanduk.
Sementara itu, Kepala LLDikti Wilayah IV Jabar Banten, M. Samsuri, menegaskan bahwa Stikom harus bertanggung jawab dan menyelesaikan masalah ini sesuai berita acara evaluasi. Ia menyatakan, “Sanksi administrasi akan dicabut setelah kampus menyelesaikan seluruh temuan, dan kampus dapat kembali meluluskan mahasiswa.”
Namun, masalah ini melampaui sekadar maladministrasi di satu institusi. Kasus Stikom Bandung membuka tirai pada masalah sistemik dalam tata kelola pendidikan tinggi di Indonesia. Menurut laporan Tirto, banyak kampus yang masih beroperasi dengan tata kelola yang tidak transparan dan kurang taat terhadap regulasi akademik. Fenomena ini kerap muncul akibat kombinasi antara lemahnya pengawasan, tekanan pasar untuk menghasilkan lulusan dalam jumlah besar, dan standar akreditasi yang kurang ketat.
Ketidaksesuaian seperti yang ditemukan di Stikom mencerminkan absennya sistem kontrol kualitas yang memadai. “Hal ini menunjukkan ada yang salah bukan hanya di kampus ini, tetapi dalam sistem pendidikan tinggi kita secara keseluruhan,” tulis laporan Tirto.
Bagi banyak mahasiswa dan alumni, kampus seharusnya menjadi tempat yang menjamin masa depan mereka, bukan sebaliknya. Namun, kasus ini justru menyoroti risiko besar yang harus mereka hadapi akibat kelemahan struktural dalam sistem pendidikan.
Kini, Stikom dan institusi terkait tidak hanya bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi juga untuk mereformasi sistem yang telah lama membiarkan hal seperti ini terjadi. Jika tidak, kepercayaan terhadap pendidikan tinggi di Indonesia akan semakin runtuh.