
Petta – Rencana pemerintah menghidupkan kembali Ujian Nasional (UN) pada tahun ajaran 2025/2026 menuai beragam tanggapan. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menyebut bahwa pelaksanaan UN menjadi bagian dari evaluasi pendidikan nasional. Namun, rencana ini mendapat catatan dari para pakar pendidikan, salah satunya Tuti Budirahayu, Sosiolog Pendidikan Universitas Airlangga (Unair).
Tuti menilai bahwa pelaksanaan UN dengan model seperti dulu tidak layak untuk diterapkan kembali. Ia mengingatkan agar pemerintah tidak mengulangi kesalahan masa lalu yang membuat UN justru menjadi momok bagi siswa.
“UN model dulu itu, menurut saya sudah tidak bagus. Tidak bagus dalam arti, bukan UN-nya, tapi cara untuk mendapatkan angka atau nilai itu akhirnya membuat banyak kecurangan. Terus kemudian bimbingan-bimbingan belajar. Sekolah akhirnya tergantikan oleh bimbingan belajar,” ujar Tuti saat diwawancarai Sabtu (4/1/2025).

Menurutnya, UN di masa lalu membuat proses belajar-mengajar di sekolah kehilangan makna karena seluruh kegiatan pembelajaran hanya diarahkan untuk menghadapi UN. Akibatnya, esensi pendidikan menjadi tergerus.
“Akhirnya sekolah tidak punya makna. Jadi menurut saya, UN-nya jangan seperti dulu lagi lah,” tambahnya.
Tuti juga menyoroti perlunya parameter evaluasi yang lebih komprehensif untuk mengukur kemampuan siswa. Ia menekankan bahwa keberagaman kondisi sekolah, kualitas guru, dan sarana prasarana di setiap daerah harus menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan format UN baru.
“Jadi perlu ada pemetaan. Mapping tentang kondisi sekolah. Kemudian tentang proses belajar di masing-masing sekolah. Sekolah-sekolah yang sudah unggul ya tentu saja akan menghasilkan siswa yang unggul juga. UN-nya pasti cenderung lebih baik dibandingkan dengan nilai UN dari sekolah-sekolah yang lain,” jelasnya.
Selain itu, Tuti mengingatkan bahwa evaluasi pendidikan tidak bisa hanya fokus pada siswa. Sekolah juga harus menjadi bagian dari proses penilaian untuk memastikan kualitas pendidikan yang merata.
“Jangan menuntut siswa nilainya UN-nya tinggi kalau sekolahnya ambur adul. Jadi, banyak cara untuk mengukur kualitas pendidikan,” tegasnya.
Ia juga menilai model asesmen yang diterapkan kementerian sebelumnya, seperti Asesmen Nasional (AN), memiliki pendekatan yang lebih baik karena tidak hanya fokus pada hasil akhir siswa. Namun, Tuti mengingatkan perlunya evaluasi lebih lanjut agar sistem tersebut dapat disempurnakan.
“Menurut saya, itu harus disempurnakan. Jadi nanti UN-nya bukan seperti dulu, harapannya UN bukan hanya sebagai kelulusan saja, tapi tetap di pembelajaran selama sekolah itu,” pungkasnya.