
Petta – Di tengah dunia yang sibuk panik soal krisis iklim, ada satu komunitas kecil di pelosok Sulawesi Selatan yang diam-diam bikin iri dunia: Suku Kajang dari Desa Tana Towa, Kabupaten Bulukumba. Mereka hidup tanpa listrik, internet, atau bangunan megah—tapi justru berhasil merawat hutan lebih baik dari siapa pun di planet ini.
Pada Mei 2023, media raksasa The Washington Post menobatkan mereka sebagai “Penjaga Hutan Terbaik di Dunia.” Dalam laporan bertajuk “Penjaga Hutan Hujan Terbaik di Dunia Sudah Tinggal di Sana”, Suku Kajang disebut sebagai bukti hidup bahwa komunitas adat bisa jadi tameng paling kokoh melawan kehancuran ekologi.
Tapi baru setelah laporan itu diangkat ulang oleh media alternatif Folkative pada 10 Juni 2025, warganet Indonesia rame-rame baru sadar: “Lho, kenapa kita baru tahu?”
Filosofi hidup yang bikin malu kaum modern
Kunci dari semua ini ada pada prinsip hidup Tallasa Kamase-Mase, sebuah ajaran hidup sederhana yang nggak cuma teori, tapi benar-benar dijalani dari ujung rambut sampai ujung hutan.
Di Kajang, semua rumah bentuknya sama. Bukan karena nggak kreatif, tapi supaya tak ada iri. Mereka juga punya aturan adat ketat: satu pohon ditebang, satu pohon wajib ditanam. Dan kalau kamu langgar aturan ini? Bukan cuma kena sanksi sosial—tapi juga dianggap merusak harmoni semesta.
Mereka hidup dengan Pasang Ri Kajang, semacam “konstitusi kosmis” yang mengatur hubungan manusia dan alam. Bukan cuma teks hukum, tapi nilai hidup. Dan itu benar-benar ditaati, karena dipercaya kalau kamu melanggar, semesta juga bakal melawan.
“Doti”, ketika pengobatan adalah soal rasa hormat pada alam
Kamu pikir herbal itu cuma tren kesehatan urban? Di Kajang, ada Doti, sistem pengobatan tradisional yang jauh lebih tua dari klinik-klinik alternatif yang kamu temui di kota. Doti adalah cara menyembuhkan tubuh dengan tanaman, tapi dengan satu prinsip: gunakan secukupnya, dan tanam kembali.
Tanaman bukan sekadar bahan obat, tapi bagian dari ekosistem yang harus dijaga. Mereka tak serakah. Mereka tahu batas. Sebuah hal yang sayangnya makin asing di dunia modern.
Peradaban yang (ternyata) lebih maju
Lucunya, Suku Kajang yang kita anggap “tradisional” itu justru menjalani gaya hidup yang—secara sadar atau tidak—sedang dicari dunia: berkelanjutan, kolektif, spiritual, dan sangat ekologis.
Ketika pemerintah sibuk menyusun roadmap green energy dan korporasi gembar-gembor soal ESG, Suku Kajang udah lama hidup tanpa jejak karbon berlebih. Dan semua itu tanpa aplikasi, tanpa startup, tanpa pendanaan internasional.