
Petta – Dunia kecantikan Indonesia kembali diguncang dengan penangkapan Ria Agustina, pemilik klinik Ria Beauty yang dikenal melalui media sosial. Namun, alih-alih beroperasi di klinik bersertifikat, Ria memilih kamar hotel sebagai tempat praktiknya, sebuah keputusan yang memicu kontroversi dan kekhawatiran luas tentang keamanan pasien.
Ria ditangkap Polda Metro Jaya pada 1 Desember 2024 di sebuah kamar hotel kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Praktik perawatan kulit yang dia lakukan, termasuk derma roller dan penggunaan serum anestesi, berlangsung di kamar hotel nomor 2028, yang jauh dari standar medis yang layak.
“Kamar hotel digunakan sebagai lokasi perawatan setelah promosi dilakukan melalui akun Instagramnya, @RiaBeauty.id,” kata Kombes Wira Satya Triputra. Ketika penggerebekan dilakukan, ada tujuh pasien di lokasi, termasuk satu laki-laki, yang tengah menjalani perawatan tanpa menyadari risiko besar yang mereka hadapi.
Praktik di lokasi seperti hotel memunculkan risiko tambahan, mulai dari kurangnya fasilitas steril hingga ketidaksiapan menghadapi situasi darurat. Dalam kasus Ria, tidak ada peralatan medis yang memenuhi standar atau izin resmi dari otoritas terkait. Alat seperti derma roller yang digunakan bahkan tidak memiliki izin edar, sementara serum dan krim anestesi yang dipakai juga tidak terdaftar di BPOM.
Bagi pasien, janji perawatan instan yang ditawarkan Ria menjadi daya tarik utama. Namun, kenyataan bahwa prosedur tersebut dilakukan di kamar hotel tanpa pengawasan tenaga medis, memunculkan pertanyaan serius tentang keselamatan mereka.
“Bayangkan jika terjadi komplikasi, apakah kamar hotel punya fasilitas untuk menangani situasi darurat?” ungkap seorang pakar dermatologi yang enggan disebutkan namanya. “Ini jelas melanggar batasan keamanan.”
Gaya Hidup Ilegal di Era Digital
Ria adalah simbol dari bagaimana platform media sosial sering digunakan untuk membangun kepercayaan publik tanpa dasar yang jelas. Akun Instagram-nya, yang sering memamerkan hasil perawatan dengan kesan dramatis, menjadi alat utama untuk menarik perhatian pasien. Tapi siapa yang mengira bahwa janji kecantikan itu hanya dibalut dengan ilusi yang dilakukan di tempat-tempat tidak layak seperti hotel?
Para pakar mendesak otoritas untuk memperketat pengawasan terhadap praktik serupa yang semakin marak di era digital. Kasus ini menunjukkan betapa mudahnya seseorang tanpa latar belakang medis menggunakan media sosial untuk meraup keuntungan, bahkan dengan mengorbankan kesehatan masyarakat.
Saatnya Bertindak?
Kasus Ria Agustina menyoroti pentingnya regulasi yang lebih ketat terhadap industri kecantikan, terutama terhadap mereka yang memilih untuk beroperasi di luar batas-batas klinik bersertifikat. Dengan semakin banyaknya praktik serupa yang menggunakan lokasi alternatif seperti apartemen atau hotel, akankah ada tindakan tegas untuk memastikan keamanan masyarakat?
Yang jelas, kecantikan seharusnya tidak pernah menjadi taruhan dengan risiko sebesar ini.