
Petta – Kalau kamu tumbuh besar di Indonesia sekitar 10-15 tahun yang lalu, ada satu hal yang pasti: liburan Natal dan Tahun Baru tidak lengkap tanpa Home Alone di layar TV. Film keluarga legendaris ini seperti jadi “resep wajib” stasiun televisi untuk memanjakan penontonnya. Tapi, pernah tidak sih kamu bertanya-tanya, kenapa Home Alone begitu sering diputar dulu? Apakah ini soal nostalgia, atau ada strategi di balik layar?
Resep Ampuh Rating Tinggi
Di masa itu, tayangan televisi masih jadi raja hiburan. Belum ada Netflix, YouTube, atau TikTok yang bikin kita bisa nonton apa aja kapan aja. Jadi, saat musim liburan tiba, stasiun TV harus pintar-pintar meracik program yang bisa menarik penonton dari semua kalangan. Nah, Home Alone punya semua elemen untuk itu: cerita yang ringan, komedi slapstick yang lucu banget buat anak-anak, dan momen-momen sentimental yang bikin orang dewasa juga betah nonton.
Menurut pengamat industri pertelevisian, film ini adalah contoh sempurna dari “program evergreen.” Artinya, film ini selalu relevan, tidak peduli sudah diputar berapa kali. “Setiap generasi bisa relate dengan cerita Kevin McCallister yang harus menghadapi perampok sendirian di rumah,” kata Zulkifli. Dan jangan lupakan, adegan jebakan-jebakan konyol Kevin adalah magnet visual yang tidak pernah gagal bikin penonton ngakak.

Lisensi Murah, Untung Besar
Alasan lain kenapa Home Alone jadi langganan layar kaca adalah soal lisensi. Tahun 2000-an, membeli hak siar film blockbuster Hollywood seperti Home Alone jauh lebih terjangkau dibandingkan memproduksi konten orisinal sendiri. Untuk stasiun TV, ini adalah investasi pintar. Dengan modal relatif kecil, mereka bisa menarik jutaan penonton yang otomatis membawa masuk iklan-iklan besar.
Dan karena film ini sudah terbukti populer, stasiun TV tidak perlu repot-repot mikirin apakah audiens akan suka atau tidak. Dari tahun ke tahun, Home Alone jadi seperti comfort food bagi penonton Indonesia.
“Tradisi” Natal yang Tidak Sengaja
Tapi bukan cuma soal bisnis. Home Alone secara tidak langsung menciptakan tradisi Natal baru di Indonesia. Saat kebanyakan orang tidak punya salju atau pohon Natal besar ala Amerika, tontonan film ini jadi cara orang Indonesia untuk merasakan atmosfer Natal yang “impian.” “Setiap kali Home Alone diputar, saya seperti punya ritual keluarga kecil: duduk bareng di ruang tamu, makan kue kering, dan tertawa sama adegan-adegan konyolnya,” kata Ikram, salah seorang penonton setia.
Tradisi ini juga berlanjut karena faktor nostalgia. Orang-orang yang menonton Home Alone di masa kecil kini jadi orang tua, dan mereka ingin mengenalkan film ini ke anak-anak mereka. Kombinasi antara kenangan masa lalu dan hiburan yang timeless membuat film ini sulit digantikan.
Masa Kejayaan yang Mulai Pudar
Sayangnya, tren ini mulai berubah. Dengan munculnya platform streaming dan pilihan hiburan yang semakin beragam, televisi tradisional kehilangan cengkeramannya. Film seperti Home Alone mungkin masih relevan, tapi audiens sekarang punya kendali penuh untuk memilih tontonan mereka sendiri.
Namun, bagi banyak orang Indonesia, Home Alone akan selalu punya tempat khusus di hati. Bukan cuma karena filmnya yang seru, tapi juga karena kenangan kolektif yang tercipta setiap kali Kevin berteriak, “Aaaahhh!” di depan cermin.
Jadi, meskipun mungkin kamu sekarang lebih sering nonton versi streamingnya, tidak ada salahnya mengenang masa-masa ketika Home Alone adalah raja takhta layar kaca Indonesia.