
Petta – BP Batam diduga terlibat dalam konspirasi untuk mencabut alokasi lahan milik PT DTL yang berlokasi di Pulau Batam, yang diduga berkaitan dengan buronan Interpol, Ted Sioeng. Berdasarkan surat yang dikeluarkan BP Batam, alokasi lahan untuk PT DTL dicabut pada 11 Mei 2020 melalui Surat Keputusan nomor 89 tahun 2020 yang ditandatangani oleh Muhammad Rudi, Kepala BP Batam.
Eko Nurisman mengungkapkan bahwa sebelum pembatalan tersebut, Zudy Fardi, seorang penghubung Ted Sioeng, mengajak pihak PT DTL ke Singapura. Di sana, Ted Sioeng meminta PT DTL untuk mengurangi harga sebesar Rp 20 miliar dari yang telah disepakati dalam perjanjian jual beli. Ketika PT DTL menolak, Ted Sioeng melakukan pendekatan lebih jauh, termasuk menemui Raja Zubaidah, Komisaris Utama PT DTL, dan berusaha mendapatkan diskon harga yang sama. Namun, setelah PT DTL gagal memenuhi persyaratan pembayaran, alokasi lahan akhirnya dibatalkan pada Mei 2020.

Setelah itu, Ted Sioeng melaporkan Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, ke Bareskrim Mabes Polri pada September 2021, dengan tuduhan penipuan dan penggelapan. Meski status Rury Afriansyah sebagai tersangka, ia tetap berupaya mempertahankan haknya atas lahan tersebut. Pada akhir 2022, BP Batam mengalihkan alokasi lahan tersebut ke PT Pasifik Estatindo Perkasa, yang kemudian memerintahkan pembongkaran hotel Pura Jaya pada Juni 2023.
Rury Afriansyah menilai adanya persekongkolan antara Ted Sioeng dan pejabat BP Batam, yang berupaya merebut lahan tersebut. Ia mengungkapkan bahwa setelah dirinya dibebaskan dari tuduhan, kasus ini terungkap sebagai bagian dari upaya mengambil alih lahan Pura Jaya secara paksa. Dengan penangkapan Ted Sioeng di China, Rury berharap pihak kepolisian dapat melihat keseluruhan skenario dan memberikan keadilan, termasuk pengembalian lahan dan ganti rugi atas kerugian yang dialami.
Ted Sioeng, yang merupakan debitur macet Bank Mayapada dengan utang Rp 1,5 triliun, melarikan diri ke luar negeri dan menghindari kewajibannya untuk menyelesaikan utang tersebut. Ia sempat melaporkan Bank Mayapada ke berbagai pihak, termasuk ke Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, meskipun tidak pernah menandatangani kesepakatan untuk menyelesaikan utangnya.