Organisasi Kemanusiaan yang Terjebak Ambisi: Apa Sebenarnya yang Terjadi di PMI?

Kolase foto: Jusuf Kalla (kiri), Agung Laksono (kanan), keduanya mengklaim sebagai Ketua PMI yang sah.

Petta – Palang Merah Indonesia (PMI), simbol kemanusiaan yang identik dengan misi altruistik, kini terjebak dalam pusaran kekuasaan. Kisruh dualisme kepemimpinan antara Jusuf Kalla (JK) dan Agung Laksono membuka tabir bahwa bahkan organisasi sosial sekalipun tidak kebal dari manuver politik. Mengapa organisasi seperti PMI menjadi rebutan? Jawabannya mungkin terletak pada kombinasi antara citra publik dan sumber daya strategis yang dimiliki PMI.

PMI sebagai Lahan Strategis

Sebagai lembaga yang mengelola bank darah nasional, layanan bencana, dan berbagai program kemanusiaan, PMI memiliki akses terhadap jaringan yang luas, baik secara nasional maupun internasional. Organisasi ini menarik perhatian aktor-aktor dengan ambisi politis karena mengelola dana besar yang berasal dari sumbangan masyarakat dan kemitraan global. Keberadaan PMI di setiap kabupaten dan kota di Indonesia menjadikannya alat strategis untuk membangun pengaruh hingga ke akar rumput.

Pengamat kebijakan kesehatan Dicky Budiman mengingatkan bahwa dualisme ini dapat mengganggu stabilitas organisasi. Ia menekankan, fokus PMI seharusnya tetap pada pelayanan masyarakat, terutama di masa-masa genting seperti bencana alam. Namun, di balik layar, daya tarik PMI sebagai institusi yang dapat memoles citra pemimpinnya kerap kali lebih menggoda daripada misinya itu sendiri.

Citra Positif sebagai Modal Politik

Mengelola organisasi seperti PMI tidak hanya soal menjalankan program sosial, tetapi juga tentang membangun citra sebagai figur yang peduli terhadap rakyat. Fernando, seorang aktivis sosial, mengkritik keras politisasi organisasi kemanusiaan, mengatakan bahwa tindakan ini mencederai semangat dasar PMI. “Organisasi sosial seharusnya tidak menjadi alat eksistensi pribadi,” tegasnya.

Kaitan erat antara politik dan PMI juga terlihat dari profil kedua tokoh utama dalam konflik ini. Jusuf Kalla adalah mantan Wakil Presiden RI yang lekat dengan strategi pencitraan politik, sementara Agung Laksono memiliki jejak dualisme serupa di Partai Golkar. Hal ini memunculkan pertanyaan: Apakah perebutan ini murni demi misi kemanusiaan, atau sekadar peluang membangun jejaring politik?

Akankah Misi Kemanusiaan Terselamatkan?

Dualisme ini tidak hanya memecah organisasi tetapi juga menimbulkan risiko pada layanan kemanusiaan. Para penyintas talasemia, seperti Nisa (31 tahun), khawatir layanan transfusi darah yang menjadi nyawa mereka akan terganggu oleh konflik ini. Di sisi lain, masyarakat mulai mempertanyakan, apakah organisasi seperti PMI benar-benar peduli pada misi kemanusiaan, atau telah berubah menjadi panggung kepentingan elit?

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts