
Petta – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengubah arah pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia. Dalam putusan yang dibacakan pada Rabu, 26 Juni 2025, MK menyatakan pemilu nasional dan pemilu daerah tak lagi digelar serentak. Jarak antara keduanya ditetapkan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua tahun enam bulan sejak pelantikan Presiden, DPR, dan DPD.
“Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 secara bersyarat,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta. MK juga menyatakan norma tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat jika tidak dimaknai sebagaimana tafsir yang diberikan dalam amar putusan.
Putusan ini menjawab gugatan uji materi yang diajukan oleh sejumlah pemohon, termasuk pengamat politik, akademisi, dan mantan penyelenggara pemilu. Para pemohon menilai pemilu serentak dengan lima surat suara seperti yang terjadi pada 2019 dan 2024—untuk Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota—telah membebani pemilih dan berisiko menurunkan kualitas demokrasi.
MK dalam pertimbangannya menyebut bahwa pemisahan jadwal akan memberikan ruang yang cukup bagi partai politik dan kandidat kepala daerah untuk melakukan konsolidasi dan kaderisasi politik. Selain itu, keputusan ini diharapkan memperkuat otonomi daerah dan memperjelas fungsi serta peran lembaga legislatif dan eksekutif di tingkat lokal.
Dengan demikian, jika pelantikan Presiden dan DPR hasil Pemilu 2029 dilakukan pada September 2029, maka pelaksanaan Pilkada berikutnya harus digelar antara September 2031 hingga Maret 2032. Mekanisme teknis penyesuaian jadwal ini selanjutnya menjadi tanggung jawab pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, serta penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Putusan ini menjadi tonggak baru dalam sejarah pemilu Indonesia, menandai berakhirnya era pemilu lima kotak yang selama dua periode terakhir menuai kritik karena dinilai terlalu rumit dan menyulitkan logistik serta partisipasi pemilih.