
Petta – Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol kini berada di pusaran krisis politik yang penuh drama setelah menjadi presiden kedua dalam sejarah negeri itu yang menghadapi pemakzulan. Pada Sabtu, parlemen yang dikuasai oposisi meloloskan pemakzulan ini karena upaya kontroversial Yoon untuk memberlakukan darurat militer awal Desember lalu. Deklarasi yang hanya bertahan enam jam itu memicu kekacauan nasional.
Dengan pemakzulan ini, Yoon tetap memegang jabatan presiden, tetapi tanpa kekuasaan. Perdana Menteri Han Duck-soo mengambil alih sebagai presiden sementara. Di tengah kekacauan, Han mencoba menenangkan publik, “Saya akan mengerahkan semua upaya untuk menstabilkan pemerintahan,” katanya usai pemungutan suara.
Namun, stabilitas tampak jauh dari kenyataan. Krisis ini merobek politik internal Korsel, memaksa sejumlah pejabat militer mundur atau ditahan. Saat Korea Utara terus mengembangkan senjata nuklirnya dan memperkuat hubungan dengan Rusia, ketegangan internal justru membuat pertahanan Korsel dipertanyakan.
Rakyat Terbelah: Pro dan Kontra Yoon
Di luar parlemen, pemandangan kontras terlihat. Para pendukung pemakzulan menari gembira dengan tongkat LED warna-warni di tangan. Di sisi lain, massa pro-Yoon perlahan membubarkan diri, kecewa dengan hasil pemungutan suara.
Pemimpin oposisi, Lee Jae-myung, tak membuang waktu untuk memanfaatkan momen. “Kalian, rakyat, telah menciptakan sejarah baru,” katanya di hadapan kerumunan yang tahan dingin di bawah suhu beku. Dia meminta rakyat terus berjuang untuk memastikan Yoon benar-benar lengser.
Pemakzulan Yoon berhasil setelah minimal 12 anggota partainya sendiri mendukung langkah tersebut. Dari 300 anggota parlemen, 204 mendukung pemakzulan, melampaui dua pertiga mayoritas yang diperlukan.
“Perjuangan Belum Berakhir”
Meski posisinya terancam, Yoon menolak menyerah. Dalam pidatonya, dia berikrar, “Saya akan berjuang sampai akhir.” Dia membela tindakannya dengan menyebut darurat militer sebagai langkah untuk melindungi demokrasi dari politisi yang dianggapnya “anti-negara.”
Namun, tindakan ini justru menjadi bumerang. Deklarasi darurat militer Yoon melibatkan pengerahan tentara untuk menghadapi lawan politik. Meski dicabut hanya dalam waktu enam jam, langkah ini melanggar hukum, memicu investigasi kriminal, dan membatasi kebebasan Yoon untuk bepergian ke luar negeri.
Krisis yang Belum Usai
Para pengamat memperingatkan, pemakzulan ini hanyalah awal dari babak baru politik Korsel. Yoon masih menunggu sidang Mahkamah Konstitusi, yang bisa memakan waktu hingga enam bulan untuk menentukan nasibnya. Jika diberhentikan, pemilu cepat akan digelar. Namun, calon penggantinya, Lee Jae-myung, juga menghadapi sejumlah kasus hukum yang berpotensi menggagalkan ambisinya.
Di jalanan, rakyat terpecah. Pendukung Yoon seperti Lee Sang-eun, seorang profesor pensiunan, merasa dikhianati. “Menyakitkan melihat upaya menjatuhkan presiden,” katanya. Sebaliknya, seorang pengunjuk rasa anti-Yoon, Lee Hoy-yeol, berharap Yoon segera mundur demi kestabilan negara.
disadur dari reuters