
Petta – Kasus Agus Buntung bukan sekadar kisah kriminal biasa; ini adalah kisah tentang dugaan pelecehan seksual yang diwarnai manipulasi, trauma, dan stigma sosial. Lebih dari itu, ini adalah cermin gelap tentang bagaimana masyarakat kita memperlakukan keadilan, terutama ketika tersangka adalah seorang tunadaksa.
Agus Buntung: Simpati atau Manipulasi?
Agus, seorang tunadaksa dari NTB, dituduh melecehkan lebih dari 15 perempuan. Bukti yang diajukan polisi termasuk rekaman suara yang menunjukkan dugaan manipulasi emosional terhadap korban. Bukti ini mengguncang publik, menimbulkan pertanyaan: Apakah ini kejahatan yang dirancang atau sebuah skenario yang salah dipahami? Polisi menyebut Agus menggunakan kepercayaannya untuk mendekati korban—sebuah tuduhan yang sulit dimaafkan meski datang dari seseorang dengan keterbatasan fisik.
Kasus ini berkembang dari hanya beberapa laporan menjadi 15 korban yang mengaku mengalami pelecehan. Ini bukan hanya tentang angka, ini adalah cerita perempuan yang harus menghadapi trauma berlapis. Stigma masyarakat membuat mereka bungkam, sementara sistem hukum yang lamban menambah rasa frustrasi. Dengan bukti dan jumlah korban terus bertambah, rasa keadilan menjadi semakin abu-abu.

Hukum yang Gagal, Publik yang Liar
Sistem hukum NTB kembali mendapat sorotan. Kejaksaan Tinggi NTB masih ‘mengkaji berkas,’ sementara masyarakat menunggu tindakan nyata. Media seperti Tempo dan Kumparan mencatat bahwa sistem ini memberi ruang bagi ketidakpastian, menciptakan ketegangan di kalangan publik.
Sang Pelaku: Simbol Ambigu Moralitas?
Sementara itu, opini publik terpecah. Beberapa melihat Agus sebagai pelaku yang harus dihukum tanpa kompromi. Yang lain berargumen bahwa tunadaksa seperti Agus bisa jadi rentan terhadap situasi yang sulit dipahami. Tetapi, apakah kondisi fisik harus menjadi pembelaan untuk dugaan tindakan kriminal? Ini adalah diskusi yang membuka luka masyarakat kita sendiri.
Akhirnya, Siapa yang Harus Disalahkan?
Agus Buntung menjadi simbol dari berbagai kekacauan: sistem hukum yang lambat, masyarakat yang cepat menghakimi, dan kurangnya perlindungan terhadap korban. Dengan kasus yang terus berkembang, ini bukan hanya soal Agus atau korbannya. Ini adalah soal bagaimana kita memahami keadilan, empati, dan kebenaran.
Publik menunggu. Tetapi apakah jawaban yang datang akan memuaskan? Atau ini hanya menjadi cerita lain tentang bagaimana hukum berjalan di tempat yang salah?