Menyuarakan Pasar Tradisional yang Kian Terpinggirkan, dr. Udin Temui Langsung Warga

dr. H. Udin Shaputra Malik, Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Makassar menggelar Sosialisasi Peraturan Daerah terkait Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional, dan Penataan Pasar Modern. (Istimewa)

Petta – Di tengah arus deras ekspansi pasar modern, keberadaan pasar tradisional di Kota Makassar kian terdesak. Legislator muda DPRD Kota Makassar dari Fraksi PDI Perjuangan, dr. H. Udin Shaputra Malik, hadir menjawab kegelisahan itu melalui Sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional, dan Penataan Pasar Modern, Minggu, 29 Juni 2025, di Hotel Swiss-Belcourt, Jalan Gunung Bawakaraeng, Kecamatan Ujung Pandang.

Acara ini turut menghadirkan narasumber dari berbagai elemen, yakni Rusli, Ahmad, Faisjal Arifin, dan Nur Effendy. Kegiatan tersebut menjadi ruang dialog terbuka antara masyarakat, pelaku usaha pasar, dan unsur legislatif tentang masa depan wajah ekonomi kerakyatan di Makassar.

Dalam paparannya, dr. Udin menyatakan bahwa Perda Nomor 15 Tahun 2009 sedianya menjadi pondasi perlindungan konkret bagi pasar tradisional, bukan sekadar dokumen formal. “Kita tidak bisa biarkan pasar tradisional tertinggal hanya karena kalah modal atau sistem. Yang kita perjuangkan bukan soal siapa yang lebih besar, tapi bagaimana semua bisa tumbuh bersama, sehat, dan adil,” ucap dr. Udin.

Menurutnya, tantangan hari ini bukan hanya hadirnya pasar modern di sekitar kawasan tradisional, tapi lemahnya afirmasi kebijakan yang berpihak pada pasar rakyat. “Revitalisasi fisik, akses modal, dan pelatihan pedagang harus jadi prioritas. Perda ini harus hidup, turun ke lapangan, dan jadi pelindung nyata,” kata dr. Udin. Ia menambahkan, DPRD Kota Makassar berkomitmen mendorong kebijakan yang tak hanya pro-investasi, tapi juga pro-keadilan ekonomi lokal.

Suasana diskusi menghangat ketika seorang warga bernama Rangga menyampaikan unek-uneknya. Ia mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menata pasar tradisional yang kerap meluber hingga ke pinggir jalan, menyebabkan kemacetan. “Kalau dilarang jualan di pinggir jalan, pedagang bisa rugi karena pembeli jarang mau masuk sampai ke dalam. Tapi kalau dibiarkan, macet jadi masalah harian. Jadi solusi konkret dari pemerintah itu apa?” tanya Rangga di tengah forum.

Pernyataan Rangga menggarisbawahi persoalan laten yang selama ini belum terselesaikan: ketidakhadiran sistem tata kelola yang berpihak kepada para pedagang kecil namun tetap mengedepankan keteraturan kota. Masalah ini kemudian ditanggapi oleh para narasumber sebagai bentuk urgensi untuk meninjau ulang zonasi, fasilitas aksesibilitas, dan promosi pasar tradisional secara lebih serius.

Kegiatan ini tidak hanya penting sebagai sosialisasi kebijakan, tapi juga sebagai refleksi atas keberpihakan negara kepada kelompok usaha kecil yang menjadi denyut ekonomi rakyat. Dalam diri dr. Udin, peran legislator tak berhenti pada penyusunan aturan, tapi menjelma menjadi fasilitator edukasi publik yang hadir, mendengar, dan mengadvokasi.

Di tengah jarak antara kebijakan dan realitas, kehadiran wakil rakyat seperti dr. Udin menjadi penting. Ia menjadi pengingat bahwa parlemen lokal bukan hanya tempat menyuarakan aspirasi, tapi juga tempat memperjuangkan wajah adil dari pembangunan ekonomi kota.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts