
Petta – Kota Makassar baru saja diterjang banjir hebat. Air meluap, merendam pemukiman hingga setinggi dada orang dewasa. Namun, bukan hanya genangan dan lumpur yang tertinggal, kisah seekor buaya besar muncul di daerah Antang seakan membawa cerita mistis dari masa lalu. Warga geger, aparat turun tangan, dan reptil itu akhirnya dipindahkan ke Cimory Dairyland, Gowa. Masalah selesai? Belum tentu.
Seorang kakek, entah mendapat wahyu dari mana, tiba-tiba muncul dan mengklaim bahwa buaya itu adalah bagian dari garis keturunannya. “Saya pawang yang diutus cucunya!” katanya dengan keyakinan penuh. Ritual pun dilakukan, tangan diulurkan untuk menyentuh dan meberi makan sang ‘leluhur’. Tapi, alih-alih memberikan restu, si buaya Antang justru memberikan gigitan maut yang hampir membuat tangan sang kakek putus.
Video kejadian ini viral, seperti kebanyakan insiden absurd yang menjadi konsumsi digital kita. Netizen mengerutkan dahi, tertawa, terkejut, lalu bertanya-tanya: Apakah kita masih hidup di zaman di mana orang percaya mereka adalah keturunan buaya? Kepercayaan semacam ini adalah bagian dari folklore, mitos yang diwariskan turun-temurun. Tapi di era AI, teknologi luar angkasa, dan self-driving cars, apakah masih relevan?
Kepercayaan terhadap buaya dalam budaya lokal bukanlah hal baru. Di berbagai daerah di Indonesia, buaya sering dianggap sebagai makhluk spiritual, penjaga sungai, bahkan leluhur yang harus dihormati. Beberapa suku percaya bahwa mereka memiliki hubungan khusus dengan buaya, menganggapnya sebagai perwujudan nenek moyang yang kembali untuk melindungi keturunan mereka. Namun, kejadian di Gowa ini menimbulkan pertanyaan: Apakah semua kepercayaan lama harus tetap lestari, ataukah ada batas di mana tradisi harus tunduk pada akal sehat?
Ketika sains dan teknologi berkembang pesat, kita semakin memahami bahwa buaya hanyalah hewan predator, bukan entitas mistis. Fakta biologis tak bisa ditawar: buaya memiliki naluri berburu, bukan naluri berkeluarga dengan manusia. Namun, keyakinan terhadap mitos semacam ini masih kuat bertahan, bahkan di kalangan masyarakat yang sudah terpapar informasi modern. Ini mencerminkan betapa kuatnya warisan budaya, meski kadang harus berbenturan dengan realitas.
Kasus ini membuka diskusi lebih luas: kapan tradisi berharga dan kapan harus direvisi? Jika kepercayaan bisa berujung pada bahaya nyata, apakah layak terus dipertahankan? Atau, seperti kakek tadi, kita hanya sedang menunggu ‘gigitan’ realitas yang akan membangunkan kita dari ilusi nenek moyang?
Sementara itu, buaya di Antang tetap diam. Ia tidak tahu-menahu soal warisan budaya atau perdebatan tentang modernitas. Yang jelas, bagi reptil prasejarah itu, tangan manusia hanyalah satu hal: makanan yang menggoda.